Senin, 27 Juli 2009

Dar Der Dor Timika, Tanya Freeport



Kekerasan di Papua tak bisa dipandang remeh. Saban tahun terjadi insiden berdarah. Penembakan di dekat tambang PT Freeport Indonesia (FI) Mimika, Papua, baru-baru ini membuktikan, konflik Papua masih membara.
Rangkaian gangguan keamanan mutakhir di PT FI dimulai saat pembakaran bus karyawan dan pos keamanan perusahaan di Mil 71 pada 8 Juli dini hari. Tiga hari kemudian terjadi penembakan di Mil 53 yang menewaskan Drew Nicholas Grant (38), pekerja Freeport asal Australia. Esok harinya, petugas satuan keamanan (sekuriti) Freeport, Markus Rante Allo, juga tewas ditembak di Mil 51. Peristiwa terakhir, 13 Juli, jenazah provos Polda Papua, Brigadir Dua Marson Fredy Pettipelohi, ditemukan dengan luka parah di bagian leher di Mil 64.
Menanggapi insiden ini, TNI-Polri seharusnya tak melihat penembakan sebagai tindak kriminal yang dilakukan kelompok bersenjata terlatih. Apalagi mengaitkan (tanpa bukti) senjata organik yang dipakai pelaku sebagai rampasan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM). Statement TNI semacam ini semakin memprovokasi situasi ketidakamanan bagi masyarakat Papua. Selain itu dikhawatirkan hanya berdampak pada penciptaan opini sesat yang bisa mempengaruhi proses penyelidikan yang tengah dilakukan. Penembakan sejatinya merupakan puncak gunung es konflik Papua. Pihak mana pun bisa "bermain " dengan bara konflik.
Mengurai Konflik
Akhir-akhir ini, eskalasi kekerasan hampir merata di seluruh Papua, mulai dari Keerom, Nabire, Paniai, Wamena, Kabupaten Yapen hingga rentetan penembakan di wilayah Timika. Karenanya, reaksi pemerintah yang hanya mengirimkan Tim Densus 88 terkesan timpang. Harusnya pemerintah juga menugaskan seluruh perangkat hukum-termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), untuk mengusut sejumlah pelanggaran HAM yang pernah terjadi di bumi Papua.
Ini dikarenakan, hanya tragedi Abepura, yang terjadi pada 7 Desember 2000, satu-satunya kasus yang ditetapkan sebagai pelanggaran HAM di Papua-dan diakui negara. Sekalipun terkesan lelet, Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka pada November 2002. Prestasi itu jauh dari memuaskan, sebab seperti biasa, pelanggaran HAM selalu saja menyentuh pelaku-pelaku lokal, tanpa mengusik petinggi, sang pemberi perintah.
Hasil investigasi Komnas HAM, pada 5 Februari 2001 Nomor 020/ KOMNAS HAM/ 2001 menyebutkan, dalam satu rangkaian reaksi atas peristiwa penyerangan Mapolsek Abepura, Kantor Dinas Otonom Kotaraja, dan pembakaran ruko, terdapat 25 aparat kepolisian terbukti kuat terlibat dalam penyisiran brutal masyarakat sipil di Asrama Ninmin, Yapen Waropen, dan Ikatan Mahasiswa Ilaga (IMI), serta pemukiman Kobakma Mamberamo, Suku Lani dan Yali.
Dalam pengejaran dan penyisiran tersebut telah terjadi penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention) terhadap 105 orang, pembunuhan kilat (summary execution) terhadap Elkius Suhuniap di daerah Skyline, Jayapura Selatan. Aparat juga melakukan penyiksaan (torture) berulang-ulang terhadap 9 perempuan dan 96 laki-laki. Akibatnya Orry Doronggi dan Johni Karunggu meninggal (dead in custody), pengungsian secara tidak sukarela (involuntary displaced persons), dan pelanggaran atas hak milik terhadap masyarakat setempat.
Selama ini, setiap terjadi insiden, kelompok separatis selalu dikambing hitamkan. Ujungnya, penduduk sekitar kejadian tersebut harus menanggung akibatnya, seperti biasa. Paradigma konflik separatisme yang terus dikembangkan di Papua hanya akan memelihara ketidakadilan bagi rakyat Papua.
Padahal kekerasan di sekitar tambang PT Freeport bukan sesuatu yang baru. Tercatat, sepanjang tahun 1975 - 1997, sekitar 160 orang dibunuh di sekitar tambang PT Freeport, termasuk di dataran rendah Timika, wilayah suku Amungme dan Nduga. Angka itu belum termasuk orang-orang yang meninggal karena kelaparan dan penyakit selama mengungsi di hutan-hutan karena operasi militer pada 1977 - 1978 dan sepanjang 1994 -1997.
PT Freeport, perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat ini bagai membawa kutukan buat rakyat Papua. Kekerasan terhadap suku-suku pegunungan tengah, marak sejak PT Freeport ada di sana.
Tak hanya itu. Pengerukan bijih emas telah menghancurkan puncak-puncak gunung, yang selama ini dipercaya suku Amungme sebagai tempat suci. Gunung merupakan bagian alam yang tertinggi kedudukannya, harusnya dipelihara, tidak dirusak. Bagian puncak gunung merupakan tempat suku Amungme melakukan ritual-ritual, yang menghubungkan mereka dengan penguasa alam, penghubung mereka dengan sang Pencipta.
Pengahancuran puncak gunung, meluas ke lembah. Lebih 1,3 milyar ton limbah tailing telah dibuang ke sungai Ajkwa. Limbah tailing ini menghancurkan dataran rendah sungai Ajkwa hingga muara dan terus ke laut. Padahal kawasan tersebut sumber karbohidrat dan protein penting bagi suku Kamoro dan sekitarnya.
Sementara PT Freeport telah beroperasi puluhan tahun, memasok emas nomer dua ke negara asalnya, penduduk Papua tak beranjak kesejahterannya. Di kota tambang PT Freeport, Mimika, Indek Kemiskinan BPS - UNDP, 2004, menunjukkan jumlah penduduk miskin mencapai 50,2 persen. Padahal penduduk asli disana hanya 35 persen jumlah penduduk. Boleh jadi, merekalah yang mengalami pemiskinan akut. Selain itu, Mimika tercatat sebagai salah satu kota dengan jumlah penderita HIV-AIDS tertinggi di Indonesia.
Ketidakbecusan pemerintah mengurus PT F Freeport merupakan akar kekerasan di sekitar tambang itu. Bahkan Panitia Khusus (Pansus) kasus PT Freeport yang dibentuk DPR RI 2004-2009, nyaris tak membuahkan hasil.
Situasi semakin runyam saat Menteri Luar Negeri RI dan Australia pada 13 November 2006 menandatangani Traktat Lombok. Perjanjian bidang keamanan ini menyepakati penempatan 30 ribu pasukan di Papua. Akibatnya rakyat kian dicekam suasana teror. Terlebih, faktanya, militer kerap terlibat upaya intimidasi aktivis dan warga sekitar. Penempatan militer di area pertambangan terang melanggar hak atas rasa aman yang diatur dalam Pasal 30 UU No 39/1999 tentang HAM.
Dana yang dialokasikan Freeport untuk militer di sekitar pertambangan meningkat dari tahun ke tahun. Dalam laporannya kepada security Exchange Commission (SEC) di Amerika Serikat, yang dirilis International Network for Economic, Social & Cultural Rights, Consultation on Human Rights and the Extractive Industry, (Joint NGO Submission), Geneva, 10-11 November 2005, PT Freeport mengakui bahwa pihaknya telah mengucurkan dana bagi TNI Tahun 2004 sebesar USD 6,9 juta. Dana pengamanan ini lebih besar dari dua tahun silam, yaitu USD 5,9 juta dan USD 5,6 juta.
Sesungguhnya, sejumlah kekerasan yang dipicu kehadiran aparat keamanan dan korporasi tambang, lahir demi kepentingan pemodal, segelintir birokrasi korup, dan menegasikan kepentingan rakyat.
Harusnya, bobroknya pengurusan industri tambang yang sudah berjalan lebih 40 tahun ini, menjadi pelajaran berharga bangsa ini.
Sayang, pembahasan anggaran negara (APBN 2010) beberapa hari lalu masih saja menempatkan pertambangan sebagai sektor penting. Tujuh langkah prioritas penanganan krisis yang ditetapkan Presiden dalam APBN mendatang akan sia-sia. Jika pengerukan dan ekspor bahan mentah tambang masih diprioritaskan. Jika sumber energi masih jadi barang dagangan, bukan memenuhi kebutuhan mendesak rakyat,
Guru besar Pusat Study Amerika Latin di Stanford University, Terry Lynn Karl (2005) mengingatkan, konsekwensi dari pembangunan yang didasarkan pada ekspor tambang cenderung negatif, setidaknya selama 40 tahun terakhir. Efek buruknya menurut Terry meliputi pertumbuhan ekonomi lambat dari yang diharapkan, diversifikasi ekonomi yang buruk, indikator kesejahteraan sosial yang menyedihkan, tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang tinggi, kerusakan lingkungan di tingkat lokal, korupsi yang meluas, penyelenggaraan pemerintahan yang sangat buruk, serta tingkat konflik dan perang yang tinggi.
Kekerasan sekitar tambang di Papua, identik dengan sosok PT Freeport. Karenanya, jika ingin menjauhkan kekerasan dari Papua, mulailah dengan menutup sementara PT Freeport. Kaji ulang keberadaannya, perusakan lingkungannya, dampak sosial ekonominya, juga pelangggaran HAM di sekitarnya. Dan lakukanlah konsultasi dengan rakyat Papua, tentang nasib tambang emas terkaya di dunia itu, ke depan.
Foto: detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar